- Najis mughallazhah, disucikan sebanyak tujuh kali, sekali diantaranya air pencuciannya dicampuri tanah (debu/lumpur). Cucian yang sampai menghilangkan wujud najis (meskipun harus dilakukan beberapa kali cucian/siraman umpamanya), baru dihitung satu kali (jadi, harus ditambah enam kali).
- Najis mukhaffafah, disucikan cukup meratainya dengan air (tidak usah najisnya terbuang bersama air).
- Najis mutawassithah 'ainiyyah, disucikan dengan menghilangkan wujudnya dengan menggunakan air satu kali. Wujud najis harus hilang terbuang bersama air pencucinya (kalau disiram).
- Najis mutawassithah hukmiyyah, cara mensucikannya sama dengan mensucikan najis mukhaffafah.
Catatan :
Mencuci pakaian bayi yang terkena kotoran/najis, sebaiknya dengan cara :
- Dihilangkan wujud najisnya dengan air seperlunya
- Setelah hilang wujud najisnya (bersih dari najis tapi belum tentu suci dari najis) kemudian diperas apuh (habis kandungan airnya karena diperas).
- Pakaian yang sudah diperas apuh itu ditaruh didalam ember dipenuhi air sampai melimpah (air waarid).
Menentukan hilangnya wujud najis (warna, bau dan rasa) tidak perlu, bahkan tidak seyogyanya dipaksa-paksa terlalu teliti : dicium atau dicicipi. Cukup dengan dugaan kuat (ghalabatuzh-zhan) bahwa wujud najis itu sudah hilang.
Perlu diketahui bahwa di dalam ilmu fikih ada najis-najis yang diampuni yang disebut An-najasaatul ma'fuwwaat, artinya najis-najis yang dianggap seperti tidak najis. Pada umumnya najis ma'fuwwaat ini adalah najis yang :
- Sangat sedikit, sehingga tidak terasa, umpamanya darah sendiri yang sedikit,
- Sukar sekali dihindari, umpamanya debu-debu jalanan (yang umumnya mengandung najis : kotoran kuda dan sebagainya).
Memang, terhadap najis kita tidak boleh "sembarangan", tetapi juga tidak baik/tidak perlu "mempersulit diri" yang menimbulkan penyakit "was-was". Permudah yang mempersulit.
Masih ada lagi dua kaidah yang dapat menghindari kita dari situasi "mempersulit" ini, yaitu :
- Kaidah : "kembali kepada asal" bahwa semua barang yang asalnya suci, kalau tidak tegas, jelas, nyata terkena najis, hukumnya "suci" sebagaimana asalnya. Umpamanya : makanan yang dibikin oleh orang yang tidak memperhatikan najasah/bahkan kemungkinan terkena najis, kalau tidak nyata-nyata terkena najis, maka hukumnya "suci".
- Kaidah tahammul artinya "memantas-mantas" bahwa sesuatu yang tadinya terkena najis itu sudah tersucikan dengan sesuatu cara/proses yang mungkin terjadi. Umpamanya seekor kucing yang habis makan tikus, mulutnya menjadi najis Kalau kucing itu tidak tampak (pergi berkeliaran kesana-sana) beberapa waktu lamanya, kemudian kembali dengan mulut yang sudah bersih, maka mulut kucing itu dapat dianggap suci, karena dipantas-pantas kucing itu minum air banyak (dari sungai, kolam dan sebagainya).
- Arak, bisa berubah menjadi suci, kalau arak berubah menjadi cuka tanpa dicampuri benda-benda lain, tetapi berubah sendiri menurut proses tertentu.Ingat legen (nira yang baru dusadap) yang jadi cuka, lebih dahulu menjadi arak(proses antara legen dn cuka).
- Kulit binatang (tulang) bukan anjing, bukan babi, meskipun dikuliti dari bangkai, dapat menjadi suci dengan disamak sehingga memiliki daya tahan lama (sepatu kulit gajah).
Untuk mensucikan dari najis hanya dalam satu hal, air itu boleh diganti dengan yang lain, yaitu dalam istinja', artinya bersuci dari najis/ kotoran yang keluar dari salah satu jalan pelepasan kita (qubul dan/atau dubur). Khusus dalam hal ini, air dapat diganti dengan batu atau benda padat lainnya (kayu, kertas tissu dan sebagainya) dengan syarat :
- Kotoran belum kering,
- Kotoran belum pindah/menjalar kemana-mana, masih tetap berada dilubang pelepasan,
- Benda yang dipergunakan dapat menghapus najis,
- Benda yang dipergunakan tidak/bukan benda yang dihormati (makanan dan sebagainya),
- Kotoran belum tercampur dengan benda-benda lain (air dan sebagainya),
- Digunakan 3 buah benda.
Sumber : Fikih Perempuan Praktis; Oleh K.H. Abdul Muchith Muzadi
0 Response to "Cara Bersuci dari Najis"
Posting Komentar